Klasifikasi dan kualifikasi usaha jasa pertambangan sebagaimana diatur dalam Pasal 125 UU No. 4 Tahun 2009
tentang Mineral dan Batubara (UU Minerba) sudah jelas. Ketentuan itu
tidak kontradiktif, dan tidak mencerminkan dikriminasi terhadap
pengusaha tambang di daerah.
Penegasan itu disampaikan Dirjen Minerba Kementerian Energi dan Sumber
Daya Mineral (ESDM), Thamrin Sihite, mewakili Pemerintah dalam sidang
pengujian UU Minerba di Mahkamah Konstitusi, Selasa (12/2). Mahkamah
mendengar keterangan pemerintah dan DPR.
Adalah warga asal Bangka Belitung, Hazil Ma’ruf, yang mempersoalkan
Pasal 125 ayat (2), Pasal 126 ayat (1), dan Pasal 127 UU Minerba.
Melalui pengacaranya, Hazil meminta Mahkamah membatalkan rumusan ketiga
pasal itu karena isinya kontradiktif dan diskriminatif terhadap
penambang di daerah, khususnya di Bangka Belitung. Konflik gara-gara penambangan sering terjadi di daerah.
Pasal 125 ayat (2) menyebutkan ‘pelaksana usaha jasa pertambangan
dapat berupa badan usaha, koperasi, atau perseorangan sesuai dengan
klasifikasi dan kualifikasi yang telah ditetapkan oleh menteri”. Pasal 126 ayat (1) menyebutkan ‘pemegang
IUP atau IUPK dilarang melibatkan anak perusahaan dan/atau afiliasinya
dalam bidang usaha jasa pertambangan di wilayah usaha pertambangan yang
diusahakannya, kecuali dengan izin menteri”. Lalu, Pasal 127
menyebutkan kewenangan menteri membuat peraturan tentang ketentuan lebih
lanjut penyelenggaraan usaha jasa pertambangan.
Bagian penjelasan pasal-pasal yang dimohonkan memang menyebut ‘cukup
jelas’. Tetapi menurut Thamrin, ketentuan tentang klasifikasi dan
kualifikasi usaha jasa pertambangan telah dirumuskan secara rinci dalam
Peraturan Menteri ESDM No. 28 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Usaha
Jasa Pertambangan, dan perubahannya melalui Peraturan Menteri ESDM No.
24 Tahun 2012. Penggolongan bidang usaha jasa pertambangan didasarkan
pada kategori konsultan, perencana, pelaksana, dan pengujian peralatan.
Kualifikasi usaha jasa pertambangan, berdasarkan regulasi terbaru,
berdasarkan kemampuan keuangan perusahaan. Standarisasi penerbitan izin
juga sudah diatur.
Aturan dalam pasal-pasal yang dimohonkan uji, kata Thamrin, juga
dimaksudkan menata pengelolaan pertambangan agar lebih terkontral dan
terkoordinir dengan baik. Selain itu, pengaturan ini juga bertujuan
untuk lebih melindungi kepentingan pelestarian lingkungan dari aktifitas
penambangan liar yang selama ini kerap terjadi.
Ia menampik peraturan diskriminatif karena pada dasarnya setiap badan
usaha, koperasi dan perorangan tetap bisa menjalankan usaha jasa
pertambangan. “Tetap juga mempunyai hak dan kewenangan untuk melakukan
jasa. Namun tentu untuk melakukan jasa inikan ada kriteria yang diatur
di dalam peraturan menterinya. Jadi tidak ada yang salah,” ungkap
Thamrin kepada hukumonline seusai sidang.
Karena itu, Thamrin melanjutkan, dengan adanya penjelasan rinci dalam
Peraturan Menteri ESDM, maka dalil pemohon menjadi tidak benar dan tidak
terbukti. Thamrin malah mempertanyakan legal standing pemohon
mengajukan judicial review UU Minerba.
Argumentasi lain disampaikan anggota Komisi III DPR, Harry Witjaksono.
Menurut dia, jika pasal yang diminta pemohon dibatalkan Mahkamah, akan
terjadi kekosongan payung hukum. Ketiadaan norma yang mengatur bentuk
badan usaha pertambangan dapat menimbulkan ketidakpastian hukum. Para
pemangku kepentingan pertambangan minerba pun bisa menafsirkan regulasi
secara berbeda-beda sesuai kepentingan mereka.
“Perlu kiranya dipertimbangkan jika aturan ini dibatalkan akan
menyebabkan situasi yang tidak menentu dalam pengelolaan sektor tambang
di Indonesia,” ujar Harry.
Pengacara Hazil, Iwan Prahara menjelaskan inti permohonan kliennya
adalah aturan tersirat UU Minerba yang melarang aktivitas penambangan
oleh masyarakat tanpa izin Menteri ESDM. “Permasalahannya, masyarakat
yang di desa itu akan kesulitan, masa harus ke Jakarta untuk mengurus
hal ini. selama ini mereka enjoy saja karena ada izin dari PT Timah
sebagai pemilik izin usaha pertambangan,”Sumber hukumonline.com
0 comments:
Post a Comment