Pada UU Pertambangan yang baru ada tuntutan bahwa logam kini harus diproses secara lokal sehingga penghasilannya naik. Proyek besar bakal direncanakan di bidang nikel dan ada juga di bidang besi, tembaga dan timah. Menurut Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), jumlah investasi pada 2012 naik drastis dari sekitar US$ 1.8 miliar pada 2010 menjadi US$ 4.3 miliar pada 2012 (Lihat berita Jaringnews 22.1.2013). Maka, penghasilan dari pertambangan di PDB akan naik juga dalam tahun-tahun yang akan datang.
Indonesia memang ingin memobilisasikan potensi besarnya di sektor bijih logam dan akan memulai berbagai proyek untuk meningkatkan pertambangan dalam tahun-tahun yang akan datang. Menurut Presiden Asosiasi Pertambangan Indonesia, Martiono Hadianto, hasil pertambangan tidak sesuai dengan sumber bijih logam yang dapat digunakan. Walaupun Indonesia ada di nomor enam menyangkut persediaan deposit mineral secara global, di iklim investasi hanya menempati nomor 46 saja. Di Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Papua, Nusa Tenggara dan Maluku ada deposit mineral yang luas yang belum dimanfaatkan.
Titik berat politik pertambangan Indonesia adalah kawasan timur, dimana telah dikeluarkan puluhan izin baru. Akan tetapi, di samping prospek pertambahan penghasilan devisa, ada juga masalah sosial dan lingkungan akibat eksplorasi pertambangan tersebut. Proyek pertambangan sering direncanakan dalam kawasan hutan lindung dan di atas tanah adat. Karena pertambangan biasanya dilaksanakan dalam lubang terbuka, ada juga masalah erosi dan pembuangan limbah yang mengakibatkan tercemaran sungai dan laut.
Proyek-proyek untuk mengali dan mengelola bijih logam makin diperhatikan. Menurut UU Pertambangan dari tahun 2009, pemilik perusahaan diharuskan untuk meningkatkan bagian nilai tambah di ekspor mineral sampai tahun 2014. Daripada mengekspor nikel mentah, misalnya, lebih baik mengekspor nikel besi, sebuah paduan dengan kandungan nikel sebanyak 45 persen. Pada bijih tembaga pun, tingkat kebersihan harus dinaikkan menjadi 99 persen, dan untuk timah 99.85 persen.
Di bidang pertambangan nikel akan ada investasi yang besar. Anak perusahaan Solway Group dari Rusia ingin menempatkan US$ 3 miliar untuk pertambangan timah di Maba, Halmahera. Studi kelayakannya kini sedang dilaksanakan. Menurut partner konsultingnya di Indonesia, kapasitas tambang tersebut akan mencapai 50.000 ton per tahun yang nantinya akan meningkat sampai 80.000 ton.
Pada 2011, anak perusahaan China, PT Baosteel Resources Indonesia, menandatangani persetujuan dengan Modern Group untuk pengembangan pertambangan nikel-laterit di Konawe Utara, Sulawesi Tenggara. Modern Group memiliki 74 persen dari usaha bersama tersebut. Jumlah bijih nikel-laterit yang akan diekspor mencapai 50.000 ton per bulan. Targetnya, pada 2014 akan dibangun perlebahan nikel dengan investasi sebanyak US$ 500 juta.
Pemain penting di bidang nikel adalah PT International Nickel Indonesia Tbk (PT Inco Indonesia). Perusahaan tersebut memiliki perleburan nikel dengan kapasitas tahunan 72.500 ton yang memproduksikan nikel-matte dengan tingkat kebersihan 75 persen. Menurut Presiden Inco, Tony Wenas, perusahaannya ingin meningkatkan produksi tahunan menjadi 90.000 ton sampai 2014/15. Untuk mencapai hasil sebanyak itu, harus ada investasi sebesar US$ 232 miliar.
BUMN PT Aneka Tambang (PT Antam) ingin juga berekspansi luas. Produksi nikel-besi direncanakan akan meningkat dari 19.000 ton di 2010 menjadi 47.000 ton sampai tahun 2014. Perluasan tersebut akan dicapai dengan pembangunan peleburan keempatnya di Pulau Halmahera.
Proyek pertambangan nikel besar lain juga direncanakan akan dilaksanakan di Pulau Halmahera. Investasi sebesar US$ 4.6 miliar akan diimplementasikan oleh Konsorsium Perancis-Jepang Weda Bay Minerals bersama dengan perusahaan nasional PT Antam (punya 10 persen). Eramet, group pertambangan dan metalurgi dari Perancis mengikuti konsorsium tersebut lewat anak perusahaan Weda Bay Nickel bersama dengan Mitsubishi Corporation dari Jepang. Di samping pertambangan, direncanakan juga perluasan pelabuhan serta pembangunan peleburan nikel. Produksinya akan dimulai pada 2017 dengan kapasitas 35.000 ton per tahun. Rencana perluasan peleburan juga ingin mencapai kapasitas 65.000 ton per tahun. Di samping itu, direncanakan juga produksi kobalt sebanyak 4.000 ton per tahun.
Masalahnya adalah pertambangan tersebut selalu membawa dampak serius pada lingkungan. Bahan kimia yang digunakan untuk ekstraksi bijih logam dan limbah pengelolahan mineral biasanya masuk ke sungai dan laut terdekat. Akibatnya, masyarakat yang hidup di daerah tersebut tidak bisa lagi memakai air sungai itu untuk kebutuhan sehari-hari. Ada juga dampak bagi binatang-binatang yang minum air itu ataupun bagi yang hidup di dalamnya.
Dalam kasus Weda Bay Minerals, pertambangannya direncanakan dalam tanah adat suku Tobelo dan juga dalam hutan lindung yang merupakan zona penyangga Taman Nasional Aketajawe-Lolobata. Pertambangan itu akan mencemari sungai dan laut dengan sedimen dan bahan kimia beracun. Limbah pengelolahan mineral (tailings) akan dibuang ke Teluk Weda yang dangkal itu. Sedimen erosi dari daerah pertambangan juga akan sampai di teluk tersebut. Padahal, teluk tersebut memiliki ekosistem batu karang dan merupakan sumber ikan untuk banyak komunitas di sekitarnya. Karena itu, aktivis lingkungan dari LSM Indonesia Jatam, WALHI, KIARA, dan KAU bersama-sama memprotes terhadap proyek yang direncanakan itu serta terhadap bantuan Bank Dunia untuk study kelayakannya.
Peleburan nikel satu lagi di Pulau Halmahera yaitu di Tanjung Buli yang direncanakan oleh PT Antam bersama PT PLN (PT Perusahaan Listrik Negara). Produksinya dengan kapasitas tahunan 27.000 ton nikel besi akan dimulai pada akhir 2014. Perkiraan biaya yang dibutuhkan adalah sebesar US$ 1.6 miliar. Dalam rangka proyek tersebut akan dibangun sarana pembangkit listrik senilai US$ 600 juta oleh PLN, yang akan menjamin persediaan listrik untuk perlebahan nikel serta zona industri untuk 30 tahun ke depan. Untuk itu, ada rencana dibangunnya PLN berbasis minyak solar dengan kekuatan 170 megawatt dan satu lagi yang berbasis batu bara dengan kekuatan 90 megawatt.
Dr. Silvia Werner, Alumni Free University of Berlin dan kini menetap di Hanover, Jerman.
0 comments:
Post a Comment